WAYAH
Oleh Joko Tri Haryanto
(peneliti dan kolumnis tinggal di Semarang)
(peneliti dan kolumnis tinggal di Semarang)
Suatu hari beberapa binatang ngerumpi di
pinggiran hutan membicarakan manusia. Berkatalah si sapi, "Manusia itu
memang rakus, susu-susu anakku diambil oleh mereka!"
Sang kuda menyahut, "Benar, tiap
hari mereka memeras tenagaku."
Ayam tak mau kalah, "Telurku pun
diambil oleh mereka!"
Seekor kambing turut bicara,
"Hampir tiap hari ada saja kaumku yang disembelih diambil dagingnya."
Hampir semua binatang mengatakan hal
yang senada.
Namun seekor siput berkata lirih,
"Untung saja manusia tidak tahu, kalau tahu tentulah sesuatu yang aku
punya itu juga diambilnya."
Apa itu? Hewan-hewan lain heran.
"Aku punya waktu!" jawab
siput.
***
Dalam tradisi Barat kita mengenal mundus
sebagai konsep tentang dunia, yang turunannya adalah mondial yakni dunia yang
"di sini ini". Sedang konsep waktunya adalah saeculum, dan turunannya
secular yakni sekarang ini. Itu sebabnya muncul istilah sekularisme, sebagai
pandangan yang berorientasi pada masa sekarang ini.
Nurcholis Madjid menyebut konsep dunia
(al-dunya: tempat terdekat) sebagai ruang (spacial concept) yang menempatkan
manusia sebagai obyek yang eksis dan uulaa (bentuk maskulin dari al-awwal)
sebagai konsep waktu (temporal concept), yang menunjukkan gerak eksistensi
kita. Dunia semakna dengan mundus dan mondial yakni dalam konsep ruang, serta
uulaa sekonsep dengan saeculum dan secular.
Bagaimana dengan dunia dan akhirat?
Dalam pemahaman tentang konsep ruang dan waktu, istilah dunia dan akhirat terasa
rancu. Dunia berada dalam konsep ruang dan akhirat (dari kata akhir), lebih
dekat dengan konsep waktu. Namun dengan memahami rasa bahasa Arab yang membagi
bahasa dalam sifat feminim (muannas) dan maskulin (mudzakar), maka konsep dunia
dan akhirat menunjukkan orientasi eksistensi kemanusiaan, adalah kehidupan di
ruang dunia sekarang ini, sekaligus di "ruang" yang lebih akhir
nanti.
Kita mempercayai adanya kehidupan
setelah kehidupan di dunia, yaitu kehidupan di akhirat. Keadaan yang oleh Allah
SWT. dikatakan, "Wa la al-aakhiraatu khairullaka minal uulaa." Waktu
yang di akhir lebih baik dari pada di permulaan.
Pandangan waktu bagi orang Jawa lebih
selaras dengan konsep waktu dalam Islam. Yakni konsep yang memadukan kosmos
lahir (alam kadunyan) dengan kosmos batin (alam kelanggengan). Hidup tidak
berhenti di dunia ini, tetapi terus mengalir sampai ke dunia lain, dunia yang
lebih langgeng abadi.
Bagi orang Jawa, menjalani hidup adalah
menggerakkan akal budi daya pada saat sekarang, dengan memandang tujuannya di
masa depan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan kakek-kakek kita, seperti
menanam kelapa dan pohon buah-buahan lainnya, tidak untuk dirinya. Ia menanam
untuk masa depan kehidupan anak turunnya.
Orang Jawa punya juga istilah untuk
waktu, yakni wayah. Istilah wayah ternyata juga digunakan orang Jawa untuk
menyebut cucu. Cucu adalah simbol masa depan. Dengan demikian wayah (waktu)
adalah masa depan itu sendiri.
Waktu senantiasa bergerak ke masa depan,
Fanta rai tempus ruit, waktu terus mengalir. Rasanya selalu tiba-tiba. Hari ini
bukanlah hari kemarin, bahkan detik kini, tik!, bukan detik yang sebelumnya.
Orang menandai dengan millenium, abad, windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam,
menit, detik. Namun waktu-waktu ini terus bergulir, beranjak tak pemah diam
berhenti, terus berlalu dengan cepat.
Orang Jawa menyebut cucu selain dengan
istilah wayah, adalah istilah putu. Di sinilah nilai Jawa, yang penuh simbolik,
nggone semu, tempat remang-remang yang senantiasa terbuka terhadap tafsir. Kata
putu menunjukkan benda, si cucu. Kalau diubah sebagai kata kerja, putu menjadi
mutu. Mutu adalah kualitas. Kualitaslah yang dianggap paling tepat untuk
membangun dan membentuk masa depan.
Itu sebabnya, orang Jawa senantiasa
berharap anak keturunannya bisa mikul duwur mendem jero. Keturunan yang
merupakan representasi masa depan, dapat mengangkat martabat kehormatannya dan
menghapus kekurangan-kekurangannya. Hal itu hanya mungkin jika anak keturunan
mereka memiliki kualitas yang tinggi.
Barangkali itu yang namanya khusnul
khatimah, akhir yang paripuma. Tidak hanya mati saja yang khusnul khatimah,
tetapi setiap tahapan kehidupan, termasuk karir, bagaimana bisa dijaga menjadi
khusnul khatimah. Dan sekali lagi, hal itu hanya mungkin jika kehidupan ini
dijalani dengan penuh kualitas, bermutu tinggi.
Akhir kehidupan adalah mati. Kata mati
merupakan kata kerja yang terkait dengan kata benda pati. Pati artinya inti atau ekstraks. Maka mati
bukanlah akhir, tetapi gerbang menuju kehidupan baru yang lebih murni, sari
atau pati. Dengan demikian pati adalah masa depan kehidupan manusia.
Kematian sendiri oleh orang Jawa disebut
layu, praloyo, loyo. Kematian yang hakiki bagi orang Jawa adalah apabila kehidupan
ini sudah layu, tidak lagi segar, tidak lagi manfaat. (Apalagi kalau loyo, bisa
digrundeli istri). Apabila manusia tidak lagi mampu menjaga kualitas hidup,
tidak bisa atau abai untuk membangun masa depannya, memelihara kualitas anak
keturunannya, maka itulah sesungguhnya kematian.
Wayah atau waktu adalah perjalanan
kehidupan manusia. Kehidupan yang ke depan harus senantiasa meningkat mutunya,
agar mencapai pati ning urip. Ini selaras dengan sabda Nabi, "Barangsiapa
yang hari ini sama seperti hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi.
Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia menganiaya
diri sendiri. Dan barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka
dia adalah orang yang beruntung."
Istilah lain untuk waktu dalam tradisi
jawa adalah kala. Kala dalam bahasa Sanskerta artinya waktu. Sang Kala atau
Batara Kala adalah dewa penguasa waktu. Meskipun dewa, ia bertubuh dan berwajah
raksasa yang menyeramkan. Hal ini menjadi simbol, agar orang waspada terhadap
waktu.
Seorang arif berkata, "Waktu adalah
pedang, bila kamu tidak memakainya dengan baik dan benar, maka ia akan memotong
dirimu."
Jika kita mengamati terus jarum yang
pendek, kita merasa jarum itu diam tak bergerak. Padahal begitu kita lengah
selama satu jam, kemudian kita lihat jarum pendek itu lagi, baru sadar jarum
telah bergeser satu angka.
Bagi orang yang menjalani waktunya tanpa
kewaspadaan, ia tidak akan menyadari bahwa dirinya tengah mengalami perubahan.
Ia tidak akan menghiraukan perkembangan dirinya apakah perubahannya menuju
kesempurnaan ataukah kehancuran.
Namun orang yang bijak melewati waktu
evolusi dengan penuh kewaspadaan, eling Ian wapada. Ia selalu introspeksi,
muhasabah dan evaluasi terhadap perubahan dirinya, perilakunya, penghayatan dan
pemahamannya, sehingga hidupnya menuju kesempurnaan. (*)
0 Response to "WAYAH "
Post a Comment